Melihat Bandar Politik di Pilkada

Pakar Lampung - Melihat Bandar Politik di Pilkada : Salam Sejatera Bagi kita Semua , Belakangan Republik ini dihebohkan oleh Ditangkapnya Wakil Tuhan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar tas dugaan suap  yang melibatkan berbagai pihak. Ternyata Dunia juga menaruh minat yang tinggi terhadap kabar buruk dalam penegakan hukum di Indonesia ini. Hal itu terbukti dengan bertebarannya berita penangkapan Akil di banyak media asing di seluruh dunia sepanjang Kamis (3/10/2013). Selain menyebut nama Akil, umumnya pemberitaan media online itu juga mencantumkan nama-nama tersangka kakap lain yang sebelumnya telah ditangkap KPK atas dugaan korupsi.

Hampir Seluruh Kantor Berita Dunia Memberitakan Penangkapan Akil Mochtar, Kalimat lebih ekstrem soal penangkapan Akil ini ditulis The Australian. Selain menyebutkan sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah yang diselesaikan Akil, media ini juga menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup. "Ini adalah kasus korupsi terbaru yang terkait dengan pejabat tinggi di Indonesia, salah satu negara paling korup di dunia" tulis situs www.theaustralian.com.

Kembali ke pokok postingan kali ini adalah Bandar Politik di Pilkada, Pilkada memerlukan modal yang besar untuk bisa bertarung dan bahkan memenangkan pertarungan. Biaya yang besar tersebut digunakan untuk aktivitas penguatan basis masa pendukung, pembuatan alat peraga, iklan media cetak dan elektronik, sosialisasi lainnya hingga dana untuk kampanye akbar yang biasayanya mengahdirkan Juru Kampanye Nasional dan artis penghibur Ibu Kota untuk menarik masa. Yang tidak kalah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh kandidat Kepala Daerah adalah ketika dirinya harus membeli Partai pendukung sebagai kendaraan atau perahu politiknya.

Bahkan dalam perhitungannya ada yang menyebutkan disesuaikan dengan jumlah kursi legislatif tersebut dengan anggaran minimal Rp. 200 Juta s/d Rp. 300 Juta per kursi. Artinya jika partai yang dibeli untuk mendukung tersebut menempatkan wakilnya di legislatif sebanyak 10 orang berarti calon tersebut harus merogoh koceknya sebanyak Rp. 2 M s/d Rp. 3 M untuk satu Partai. Jika didukung oleh 3 Partai ? silahkan pembaca dan masyarakat menghitungnya sendiri.

Akhir dari itu semua mayoritas kepala daerah (Bupati/Walikota dan Gubernur) menggandeng sponsor alias penyandang dana sebagai pemodal dalam mendukung keikutsertaannya dalam Pilkada. Sebab, dengan sistem pemilihan langsung seperti sekarang ini, untuk memenangkan pertarungan di kancah perebutan kekuasaan kepala daerah dibutuhkan modal yang tidak sedikit.

Diakui ataupun tidak. Tindakan sokong menyokong oleh para pemodal (baca : pengusaha) yang mapan secara kekuatan ekonominya merupakan hal yang lumrah dengan kondisi politik biaya tinggi seperti saat ini. Biasanya, pengusaha yang berperan sebagai pemodal adalah mereka yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan sejenisnya.

Keuntungan yang diperoleh bagi pemodal adalah memperoleh proyek dan pembangunan yang dilaksanakan di daerah tersebut yang berasal dari APBD. Lalu dari pengusaha yang lain ? sudah pasti mereka menuntut adanya jaminan kemanan, akses bisnis dan lahan untuk digarap oleh mereka. Terkadang juga antara Pemodal dan calon Kepala Daerah sudah melakukan kontrak tertutup untuk memperoleh dukungan modal dan imbasnya terhadap usaha dan bisnis yang dijalankan.

Para bandar ini juga bukan orang bodoh yang hanya meletakkan satu mata dadu di meja. Mereka sudah pasti memasang dua mata dadu. Atau dengan bahasa politik culas nya berdiri dengan dua kaki. Kaki kanan di pihak kandidat A dan kaki Kiri di pihak kandidat B. Perjudian politik seperti ini biasanya dilakukan jika ada calon yang terindikasi sama kuat. Ini semua dilakukan agar tidak terjadi kesalahan yang fatal dalam mendukung calon kepala daerah.

Dampak dari perjudian politik yang dilakukan oleh pemodal dan juga para calon kepada daerah adalah jika sudah terpilih menjadi Kepala Daerah sudah pasti para kandidat tersebut harus berfikir balas budi atau mengembalikan dana sokongannya kepada pemodal. Begitu juga dengan pemodal yang pasti akan meminta dan bahkan terkadang mendesak untuk segera dikembalikan modalnya.

Simbiosis mutualisme yang negatif demikian inilah yang membuka kran korupsi, kolusi dan nepotisme terbuka lebar di pemerintahan Daerah yang menyebabkan korupsi pasca reformasi tidak berkurang bahkan justru kian bertambah banyak menjerat kepala daerah. Karena kepala daerah terpilih telah mengeluarkan banyak dana sedangkan proyek APBD dinilai ada celah untuk dikorupsi dan dibagi-bagi kepada para pendukungnya.

Pilkada, Bandar Politik dan Korupsi merupakan alur panjang dan sistematis terjadinya korupsi di daerah. Memang sulit dilacak dan dijadikan temuan adanya sokong menyokong dan lain sebagainya dalam perebutan kekuasaan eksekutif di Daerah yang jelas politik biaya tinggi dengan pengorbanan yang tidak kecil sudah pasti menuntut pelakunya untuk berfikir mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya selama masa kampanye. Akhirnya jadilah Pilkada sebagai Bisnis Gelap yang menjanjikan bagi pebisnis dan politisi culas. Wallahu alam

0 komentar: