Benang Kusut Korupsi Yang Sulit Diurai

Apa yang disimak dari kasus Gayus Tambunan atau penuturan Komisaris Jenderal Susno Duadji adalah potret nyata yang hadir di tengah-tengah kita. Budaya suap, korupsi, dan makelar perkara sudah menjadi realitas yang berlapis-lapis yang telah menciptakan kerusakan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.

Fakta itu harus diakui bahwa persoalan korupsi di Indonesia telah menjadi benang kusut yang sulit diurai. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, kesadaran tentang bahaya suap dan korupsi cenderung meningkat. Mengapa semua itu bisa terjadi? Apakah jawabannya seperti yang dikemukakan Koentjoro Ningrat lewat bukunya,

“Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan”. Ditegaskan, hal itu terjadi akibat sikap mental masyarakat Indonesia yang terkait orientasi hidup masa kini yang serba instan dan segalanya diukur dengan uang dan harta.

Persoalannya pun semakin rumit dan absurd, karena lembaga yang diasumsikan menjadi pengawal dan benteng keadilan seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan advokat juga ikut terjebak dalam pusaran makelar perkara. Dan jika hal itu tidak segera disingkirkan maka bangsa Indonesia akan semakin tertinggal jauh di belakang dibanding bangsa lain yang birokrasi pemerintahannya bersih dan efisien.

Melalui kasus Gayus ini, sebenarnya bangsa Indonesia mendapat momentum untuk segera memperbaiki diri dengan terungkapnya berbagai suap, korupsi dan makelar perkara. Tetapi sebaliknya, momentum penting ini akan menjadi sia-sia dan hanya akan menciptakan kekecewaan dan frustrasi. Atau akan menciptakan pesimisme lebih besar jika tidak dilakukan tindakan konkret mengamputasi kebiasaan suap dan korupsi pada semua level penegakan hukum kita.

Bahkan, secara keseluruhan dalam diskusi terbatas dengan teman-teman praktisi hukum di Pancoran Jakarta pada 12 Aapril lalu, juga bernada skeptis dengan argumentasi hukum dan statemen yang berbeda-beda. Ancaman hukuman mati bagi terpidana korupsi dinilai hanya retorika politik, terbukti arah kebijakan pemerintah justru menumbuh-suburkan iklim korupsi di negeri ini.

Misalnya, menghilangkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor No 31 Tahun 1999 Junto UU No 20 Tahun 2001. Ayat tersebut secara jelas dan tegas menyebutkan koruptor bisa dihukum mati.

Kondisi itu menguatkan kenyataan, kita masih setengah hati. Bukan karena kaitan hukuman mati dan hak untuk hidup, tetapi oleh adanya kontradiksi-kontradiksi yang terjadi. Kesimpulannya, ambisi pemberantasan korupsi sekadar sebatas pidato membangun citra, tanpa sebuah komitmen keseriusan untuk melakukannya.

Bahkan, praktisi hukum Asmar Oemar Saleh dengan ekstrem menegaskan bahwa korupsi yang begitu dahsyat terjadi di setiap instansi penegakan hukum adalah bukti nyata bahwa bangsa Indonesia telah gagal membangun karakter bangsa (caracter nation building).

Atas dasar itu, di tengah makin menggejalanya praktik mafia kasus, maka tentu dibutuhkan penindakan yang luar biasa. Atau upaya reformasi serius dan signifikan oleh lembaga penegak hukum. Dengan cara pembersihan total terhadap aparat penegak hukum yang melakukan praktik mafia hukum. Bukan dengan lifts service atau strategi pencitraan, sehingga menimbulkan pemberantasan setengah hati.

1 komentar: