Melihat Persoalan Bangsa dengan Revolusi Prancis

Melihat Persoalan Bangsa dengan Revolusi Prancis : Tanpa penegakan hukum, niscaya bangsa ini kian terpuruk. Kita capek. Sudah waktunya meminjam elan Revolusi Prancis untuk menumpas habis koruptor. Di zaman mutakhir, termaktub kalau Revolusi Prancis merupakan yang terbesar dalam sejarah. Alexis de Tocqueville menamakan Revolusi Prancis sebagai REVOLUSI (dengan huruf besar). Slogan yang digaungkan pun begitu fantastis.

Liberte, Egalite et Fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan) merupakan gagasan yang hendak dicapai bangsa Prancis. Jargon Revolusi Prancis tersebut menjadi motor penggerak guna menggapai demokrasi. Mereka berniat membendung titah Raja Louis XIV yang berseru: ”l’etat est moi” (negara adalah saya).

Revolusi Prancis bukan hanya membantai Gubernur Bernard-Rene de Launey, tetapi Raja Louis XVI pun akhirnya digorok. Di Indonesia, koruptor kelas kakap mesti dijaring sebanyak-banyaknya. Pasalnya, jika pencoleng berdasi itu terus merajalela berarti rakyat kian terpuruk.Tokoh-tokoh pemikir pencerahan yang menjadi minyak mesin Revolusi Prancis antara lain Baron de la Brede et de Montesquieu, Jean Jacques Rosseau, Abbe Mably serta Condercet.
Sampai abad XX, Revolusi Prancis diakui mendorong gerakan kekebasan sedunia. Revolusi Prancis dianggap menjadi fondasi berikut ide fundamental bagi tercapainya keadilan dan kebebasan.

Universitalitas Revolusi Prancis bisa dirujuk dengan gemuruh Revolusi Batavia (1794), Revolusi Swiss (1798), Revolusi Spanyol (1820), Revolusi Rusia (1905), Revolusi China (1949) atau Revolusi Kuba (1965). Puncak Revolusi Prancis yakni penyerbuan ke penjara Bastille yang menjadi absolutisme negara. Revolusi Prancis lalu mengharu-biru wilayah Franka.

Revolusi Prancis yang berlangsung sampai 1792 dengan lahirnya Republik Prancis, sesungguhnya cuma berusia 15 tahun. Revolusi Prancis yang dinamakan oleh Albert Camus sebagai revolusi modern, sebetulnya telah khatam pada 1804. Pasalnya, revolusi modern selalu berakhir dengan penguatan kekuasaan negara.

Dalam literatur terlihat bila penjara Bastille sangat kokoh sekaligus angker. Apalagi, punya delapan menara dengan tembok setebal lima kaki. Di tiap menara ditongkrongkan meriam. Tiga dipasang di halaman dalam yang mengarah ke gerbang.

Visualisasai penjara Bastille yang terkesan pekat nian sebenarnya berasal dari imajinasi liar pelukis Hubert Robert. Simon Schama menolak gambaran yang bombastis itu. Maklum, bangunan yang didirikan pada 1369 tersebut tidak seseram ilustrasi Hubert.

Penjara Bastille yang terletak di Rue San Antoine nomor 232, Paris, memang dilengkapi 15 meriam. Pada hakikatnya, gedung itu tidak sejumbo yang dikira. Apalagi, menaranya hanya setinggi 72 kaki. Bahkan, penjara Bastille bersebelahan dengan toko parfum.

Di penjara tersebut cuma ada tujuh narapidana, empat tukang palsu, dua insan gila serta seorang aristokrat sinting. Aspek yang juga dibesar-besarkan ialah situasi dalam Bastille. Mesin bergerigi yang merupakan onderdil mesin cetak digembar-gemborkan sebagai alat penyiksa.

Pada esensinya, penjara Bastille merupakan hotel prodeo dalam arti sesungguhnya. Sebab, kesejahteraan tahanan terjamin. Mereka diberi ranjang, meja, kursi dan tirai hijau. Tahanan boleh pula membawa kucing atau anjing. Mereka malahan leluasa main biliar serta kartu.

Dalam soal makan, para tahanan betul-betul hidup dalam kemakmuran. Mereka diberi bubur, sup dan dendeng babi segar. Bahkan, minuman keras dan rokok bukan barang haram.

Pada Selasa 14 Juli 1789, sekitar 900 penduduk Paris berkumpul di sekitar penjara Bastille. Tujuan mereka sekadar merampas amunisi. Kemudian menuntut agar meriam-meriam diserahkan ke milisi Paris.

Penjara Bastille kala itu dijaga 82 orang invalides. Laskar tersebut diperkuat pula 32 pasukan dari Resimen Swiss Salis-Sanade. Pengawal yang minim jelas membuat puyeng Gubernur Bernard-Rene de Launey yang juga kepala penjara. Apalagi, dalam penjara hanya tersedia makanan dan air untuk dua hari.

Pukul 10 pagi, dua orang diutus menemui de Launey. Pertemuan tak membuahkan hasil. Massa pun mulai beringas. Hingga, terdengar pekik lantang: “Serbu Bastille”.

Situasi mencekam itu menggugah de Launey untuk meledakkan 250 tong mesiu. Bequard, seorang prajurit membujuk supaya mengurungkan niatnya. Sebab, tidak sedikit warga bakal terpanggang hidup-hidup.

Pukul 15.30, tentara sipil serta barisan rakyat memperkuat 900 masyarakat Paris. Bastille akhirnya diserang. Pertempuran yang menamatkan riwayat Bastille menelan korban 83 tentara rakyat. 15 mati akibat luka serius. Sementara invalides yang tewas cuma satu.

Di tengah hiruk-pikuk revolusi, tergeletak nasib de Launey yang teramat mengerikan. Lehernya dipotong dengan pisau lipat oleh Desnot. Kepala de Launey lantas dipajang di depan Hotel de Ville.

Pukul 10.20 pada Januari 1793, Raja Louis XVI yang berwatak lemah sekaligus pandir disembelih dengan pisau buatan Dr Joseph-Ignace Guillotine. Kepalanya yang terpisah dengan badan lalu dipertontonkan kepada khalayak. “Vive la Republique!” (Hidup Republik).

Revolusi Prancis menyeruak gara-gara krisis ekonomi. Selama setahun terjadi kelaparan. Selain itu, golongan menengah ingin pula merebut kekuasaan absolut dari Louis XVI.
Kaum bangsawan kemudian melawan sampai menguasai Etats Generaux (majelis perwakilan golongan) dan Assemblee des Notables (forum pejabat). Mereka tak sudi dengan pajak yang tinggi.

Kondisi Prancis era 1789 tidak berbeda dengan Indonesia di tarikh 2010. Kedua negara dibelit ketimpangan ekonomi serta keterbelakangan. Negeri yang digembar-gemborkan zamrud khatulistiwa ini sedang sakit parah. Persoalan bangsa laksana tumpukan jerami di ladang.

Akar masalah bangsa ini tiada lain sifat tamak. Perilaku mengejar materi secara berlebihan memaksa orang menyelewengkan kejujuran. Akibatnya, terjadi korupsi berasas tahu sama tahu.

Korupsi berjemaah yang dilakukan secara transparan tersebut yang mutlak diganyang. Di sinilah letak spirit Revolusi Prancis wajib digaungkan. Rakyat bersama mahasiswa harus bahu-membahu melawan perampok uang negara.

Revolusi Prancis bukan hanya membantai Gubernur Bernard-Rene de Launey, tetapi Raja Louis XVI pun akhirnya digorok. Di Indonesia, koruptor kelas kakap mesti dijaring sebanyak-banyaknya. Pasalnya, jika pencoleng berdasi itu terus merajalela berarti rakyat kian terpuruk.

Tidak dapat dipungkiri, korupsi menggiring daya saing anjlok. Suasana makin muram lantaran hukum hanya berpihak kepada kalangan berduit. Undang-undang sering menjadi macan kertas. Aturan yang diberlakukan dengan semangat menyala-nyala, cuma garang di awal. Setelah itu, ia layu minus hasil.

0 komentar: