Benarkah Munculnya Artis Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kesalahan Partai Politik

Pakar Lampung Benarkah Munculnya Artis Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kesalahan Partai Politik ; Fenomena kemunculan para artis dalam bursa calon kepala daerah menjadi perhatian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Ia menyatakan bakal merevisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Usulan revisi itu, yakni penambahan syarat wajib mempunyai pengalaman berorganisasi dan tak boleh cacat moral bagi para calon kepala daerah.(baca Okezon Miliki Foto & Film Porno, Artis Tak Bisa Ikut Pilkada)

Saat ini, sebenarnya sudah ada 16 syarat untuk menjadi calon kepala daerah. Antara lain bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat, berusia minimal 30 tahun, sehat jasmani dan rohani. Syarat lain, tidak pernah dijatuhi pidana penjara paling lama lima tahun atau lebih, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan, mengenal daerahnya serta dikenal masyarakat di daerahnya, menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan.

Si calon juga tidak sedang mempunyai tanggungan utang secara perseorangan atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, tak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri, belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dan tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.

Menurut Mendagri, orang yang tak pernah mengenal politik serta pemerintah tidak bisa menjadi kepala daerah. Alasannya, tanpa pengalaman di pemerintahan serta politik, kepala daerah akan sulit menjalankan tugasnya. "Jadi, tidak tiba tiba, misalnya, dia artis terkenal, tidak pernah berorganisasi, tidak pernah memimpin partai, tidak pernah DPRD, tiba-tiba muncul jadi calon gubernur," kata Gamawan. "Coba bayangkan 7,5 juta orang dipertaruhkan nasibnya di situ."

Soal syarat tidak boleh cacat moral, Gamawan mencontohkan orang yang sudah berzina tidak boleh menjadi kepala daerah. "Antara lain terjemahannya orang yang sudah berzina tak boleh menjadi bupati," ucap mantan Gubernur Sumatra Barat ini. "Misalnya, ada video berzina, itu sudah tidak boleh, harus dibatalkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Kontan, dua syarat itu, terutama orang yang sudah berzina tidak boleh menjadi kepala daerah dianggap sebagai langkah menjegal para calon dari kalangan artis, seperti Maria Eva dan Julia Perez. Untuk Maria Eva, kasus rekaman video cabulnya dengan Yahya Zaini, politisi Partai Golkar, yang beberapa tahun silam beredar luas bisa menjegalnya untuk ikut pilkada Kabupaten Sidoarjo. Sementara Julia Perez, gambar atau foto seksi dan seronoknya bertebaran di mana-mana.

Namun, Mendagri membantah jika syarat itu untuk menjegal calon dari kalangan artis. "Nggak, nanti Jupe (Julia Perez) marah sama saya," kata Gamawan. Jupe sendiri menilai selama pernyataan Mendagri belum menjadi aturan, ia tetap bakal maju ke bursa calon bupati Pacitan. Apalagi, setiap warga berhak mencalonkan diri sebagai kepala daerah. "Setiap warga negara memiliki hak untuk ikut berpolitik," Jupe.

Pendapat Para Tokoh Dan Politisi Seputar Fenomena Kemunculan Para Artis dalam Bursa Calon Kepala Daerah

Keinginan Mendagri Gamawan Fauzi merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah khususnya terkait pemilihan kepala daerah diharapkan tidak menimbulkan kekisruhan baru. Anggota Komisi II DPR Mahfudz Siddiq menilai syarat calon kepala daerah bukan pezina dan sebaiknya memiliki pengalaman organisasi harus memiliki definisi dan indikator yang jelas.

Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga berharap revisi jangan sampai bertabrakan dengan aturan hukum yang berlaku, seperti hak warga negara untuk berpolitik. Selain itu, jangan pula menjadi alat jegal menjegal bagi sejumlah calon. "Intinya jangan sampai peraturan tergesa-gesa. Jangan sampai menimbulkan kekisruhan hukum. Secara tujuan baik, tapi harus hati-hati," kata Mahfudz.

Ketua DPR Marzuki Alie menilai syarat calon kepala daerah harus bermoral itu bagus. Namun, parameternya harus jelas, seperti tidak terlibat kasus korupsi. Sementara kalo syarat bermoral salah satunya tak pernah selingkuh, hal itu sulit. Sebab, untuk membuktikan seseorang itu selingkuh amat sulit. "Nanti semua orang dituduh selingkuh. Jangan sampai menimbulkan fitnah. Yang paling penting adalah fakta," ucap mantan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat itu.

Direktur Eksekutif Cetro, Hadar Nafis Gumay, setuju klausul syarat tidak pernah berbuat mesum atau berzina bagi calon kepala daerah dimasukkan dalam UU. Meski begitu, syarat cacat moral tersebut harus bisa diukur serta dilaksanakan. "Itu syarat yang penting. Kita juga tidak mau mempunyai pemimpin daerah yang cacat moral. Tetapi harus dipastikan bagaimana mengukur hal itu. Jangan menaruh kriteria yang sulit untuk mengukurnya," kata Hadar.

Pendapat berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tjahjo Kumolo. Dia menilai klausul mengenai hal seperti itu sudah menjadi pertimbangan partai politik sehingga tidak perlu dimasukkan lagi dalam undang-undang. "Itu sudah menjadi pertimbangan partai politik. Apakah yang seperti itu pantas masuk undang-undang?" kata Tjahjo.

Terlebih, mekanisme penyeleksian di partai politik sebelum mengajukan seseorang atau pasangan sebagai calon kepala daerah ke masyarakat sudah pasti sangat ketat dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. "Saya kira, orang yang secara umum terindikasi tidak baik, kan tidak akan mungkin dipilih oleh masyarakat, tidak akan dipilih oleh partai politik," ucap Tjahjo. Ia menilai faktor berzina harus ada ukuran yang jelas seperti keputusan hukum.

Sependapat dengan Tjahjo, Anas Urbaningrum juga menilai tidak perlu ada syarat tertulis soal pernah berzina bagi calon kepala daerah. "Kan sudah ada syarat berkelakuan baik, jadi tidak perlu dibunyikan seperti itu," tutur Ketua Fraksi Demokrat di DPR itu.

Lagi pula, imbuh Anas, ada kesulitan untuk mengetahui apakah seseorang sudah pernah berzinah atau belum. "Untuk ngetes pernah zinah itu gimana," kata mantan anggota Komisi Pemilihan Umum tersebut. Anas menambahkan, syarat moral sudah ada dalam Undang-undang Pemilihan Presiden, Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah, maupun Undang-undang Pemerintahan Daerah. "Itu sudah cukup, sudah merangkum, sehingga tidak perlu penambahan syarat moralitas [lagi]," kata Anas.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nurkholis menilai larangan seperti itu dapat melanggar hak asasi. Menurutnya, masalah zina atau mesum merupakan hal yang bersifat pribadi. Dengan demikian, penilaian baik-buruk latar belakang calon kepada daerah seharusnya dilepaskan kepada masyarakat pemilih. "Jadi solusinya, biarkan ini dikontrol oleh publik saja. Biarkan rakyat yang suka memilih, kalau yang tidak suka, ya tidak memilih. Biarkan rakyat yang menilai," kata Nurkholis.

Ketua Umum Asosiasi Konsultan Politik Indonesia (AKPI) Denny J.A. menyarankan pemerintah tidak membuat kebijakan yang membatasi hak warga negara untuk menjadi kepala daerah. Pasalnya, menjadi kepala daerah adalah hak yang dijamin konstitusi UUD 1945 dan hak asasi universal. "Jika tak ingin kepala daerah dipimpin oleh mereka yang tidak berpengalaman atau cacat moral, sebaiknya tidak diatur dalam undang-undang, tapi ajak partai politik atau masyarakat untuk tidak memilih mereka," kata Denny.

Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, juga menilai tidak tepat syarat larangan cacat moral seperti pernah berzina bagi calon kepala daerah. Sebab, setiap orang meski pernah berbuat kesalahan sekalipun, tetap harus dijamin hak politiknya. Analis gender, Jaleswari Pramodhawardani juga mempertanyakan definisi moral. Pasalnya, moralitas adalah wilayah pribadi yang abstrak dan tak perlu ditarik ke ranah publik. Jika [aturan] tidak cacat moral, itu terlalu absurd," jelas Jaleswari.

Politisi PKS Mahfudz Siddiq menawarkan alternatif sebagai revisi undang-undang itu. Yaitu, KPU daerah bisa membentuk tim seleksi yang terdiri tokoh agama maupun kalangan intelektual. Tim ini mempunyai hak untuk menguji dan menggali kompetensi serta integritas si calon, termasuk soal moralnya. "Jadi uji moral di sini bukan sebagai syarat pencalonan, tapi sebagai informasi yang dibuka kepada publik," ujar Mahfudz. "Biarlah rakyat yang menilai soal moral si calon. Jadi, tidak perlu persoalan moral dijadikan instrumen untuk jegal-menjegal pilkada."

Benarkah Ini Kesalahan Partai Politik ?

Maraknya artis ikut bursa calon kepala daerah mencerminkan adanya masalah di partai politik. Partai dinilai gagal membangun kualitas kadernya sehingga mengedepankan politik popularitas yang terpresentasikan pada sosok artis. "Akar masalahnya ada di partai, yaitu gagalnya partai melakukan kaderisasi kepemimpinan,"

Demi memenuhi ambisi kemenangan di daerah, partai terkesan "asal comot" dengan memilih orang-orang yang tidak memiliki akar politik yang kuat dan bekal akademik yang memadai, namun sangat populer. "Menurut saya, orang-orang seperti ini hanya diperalat partai saja,"

Munculnya banyak selebritis di kancah pilkada karena rekruitmen dan kaderisasi di tubuh parpol yang kurang baik," Juga karena faktor uang." (Dana Pembinaan Partai) Perlu Kita Akui Bahwa selebritas memang memiliki banyak uang sebagai modal. "Tapi tidak semua parpol mau berisiko memajukan selebritis.

sebenarnya Kita merasa kasihan kepada artis yang jadi sasaran protes karena maju sebagai calon kepala daerah. hujatan masyarakat kepada para artis salah alamat. Seharusnya, partai yang harus bertanggung jawab. Nah Bagai Mana Menurut Pendapaat Anda Dengan Munculnya Para Artis Maju Dalam Pemilihan Kepala Daerah ?

Referensi : Okezon.com,Liputan 6

0 komentar: