Pengaruh Pendidikan Tinggi terhadap Angka Pengangguran
20.17
By
pakar lampung
Pendidikan
0
komentar
Dengan jumlah angkatan kerja yang cukup besar, arus migrasi yang terus mengalir, serta dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, membuat permasalahan tenaga kerja menjadi sangat besar dan kompleks.
Pengangguran intelektual tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlalu melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Jadi apakah dengan pendidikan yang tinggi akan semakin mudah mencari kerja? Dan mampukah Pemerintah dengan filosopis anggaran 20 persen dari APBN maupun APBD yang dialokasikan untuk pendidikan nantinya dibarengi dengan peningkatan kesempatan kerja? atau hanya hisapan jempol belaka?
Bagaimanapun pendidikan adalah sarana untuk mentrasformasi kehidupan kearah yang lebih baik. Pendidikan pun dijadikan standar stratifikasi sosial seseorang. Orang yang berpendidikan akan mendapatkan penghormatan (prestice of life) dimata publik walaupun dari keturunannya tidak dikarunia oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah.
Akibatnya, orangpun berbondong-bondong untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Mengingat dunia ini terus melaju pada era globalisasi, era persaingan global dan Indonesia merupakan bagian yang ikut andil didalamnya.
Dikehendaki ataupun tidak, setiap negara akan mengikuti perubahan dunia tersebut. Sehingga untuk mempersiapkan diri dari setiap persaingan global tersebut, manusiapun meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikannya baik mereguk pendidikan didalam negeri maupun dinegeri orang yang sudah nyata-nyata kualitasnya (hight quality). Demikian merupakan syarat utamanya.
Peningkatan Pengangguran Sarjana Drastis
Namun alangkah mirisnya hati ini, pengangguran sarjana atau lulusan universitas ternyata tertinggi di Tanah Air dibandingkan dengan lulusan lain. Badan Pusat Statistik merilis, per Februari 2010, angka pengangguran terbuka mencapai 8,59 juta orang. Sebanyak 1,22 juta orang atau 14,24 persen di antaranya adalah sarjana.
Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan, jumlah pengangguran sarjana meningkat dibandingkan dengan posisi tahun-tahun sebelumnya. Data BPS memperlihatkan, pada Februari dan Agustus 2009, pengangguran sarjana masing-masing hanya 12,94 persen dan 13,08 persen. Dalam rilis BPS per Februari ini mencatat jumlah pengangguran terbuka berdasarkan riwayat pendidikan tertinggi ditempati oleh pendidikan diploma I/II/III yang mencapai 15,71 persen dari 8,59 juta pengangguran. Sementara untuk pengangguran lain dengan angka pengangguran total 8,59 juta pengangguran masing-masing adalah lulusan universitas 14,24 persen, SMK 13,81 persen, SMA 11,9 persen, SMP 7,55 persen, dan SD ke bawah 3,71 persen.
Dari data di atas, sudah sangat jelas Indonesia mempunyai permasalahan yang tidak ringan dalam mengatasi pengangguran, utamanya yang bergelar sarjana. Sudah kuliah bayar mahal, ujung-ujungnya menganggur juga. Bila tidak segera diatasi, angka ini bukannya semakin turun tapi akan melonjak naik. Apalagi bila mengingat tiap tahun ada dua gelombang wisuda di tiap Perguruan Tinggi (PT), maka tinggal mengalikan saja jumlah tersebut dengan jumlah PT di Indonesia. Disini terlihat jelas bahwa jumlah lulusan sarjana dari tahun ketahun semakin bertambah, sehingga semakin meningkat pula angkatan kerja yang tidak persis diimbangi dengan perubahan pada kesempatan kerja.
Lalu yang menjadi pertanyaan kita adalah kenapa hal demikian ini bisa terjadi? Bukankah semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin luas pula kesempatan kerja yang diperolehnya? Atau dimanakah letak kesalahan tersebut? Apakah sistem pendidikan yang selama ini keliru? Yang hanya berorientasi melahirkan jumlah calon karyawan yang mencari kerja (what to do) tetapi bukan bagaimana menciptakan calon-calon pengusaha yang mandiri (what to be)?
Menurut Richard G. Lipsey dan kawan-kawan. (dalam buku "Economics 10th ed.", 1997: 39) menjelaskan, bahwa pengangguran adalah barang buruk ("bad") sosial seperti halnya keluaran merupakan barang baik ("good") sosial. Orang yang menganggur adalah orang yang mau dan mampu bekerja tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan.
Masih menurut Lipsey, Pengangguran pun merupakan sumber daya berharga yang potensi keluarannya tersia-sia. Pasangan fisik pengangguran adalah senjang resesi-potensi PDB yang tidak jadi dihasilkan. Keadaan demikian akan berpengaruh juga pada Pendapatan Nasional.
Bila pendapatan nasional berubah, maka volume kesempatan kerja ( employment) dan volume pengangguran (Unemployment) juga berubah. Angka pengangguran memang berfluktuasi dari tahun ke tahun, karena perubahan pada angkatan kerja tidak persis diimbangi oleh perubahan pada kesempatan kerja.
Alasan Lulusan Sarjana Menganggur
Ada beragam alasan kenapa para lulusan sarjana menganggur. Alasan pertama adalah apa yang dinamakan dengan pengangguran siklis yaitu orang menganggur terpaksa (involuntarily unemployed). Golongan lulusan sarjana ini ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku, tetapi sayangnya pekerjaan tidak tersedia. Bisa dikatakan juga sarjana ini termasuk yang pilih-pilih kerja. Boleh saja ia memfilterisasi pekerjaan sesuai skill dan kapabilitas keilmuannya. Tetapi kalau terlalu lama menunggu, maka akan terjadi dekonstruksi terhadap kesarjanaannya di area publik. Pengangguran siklis merupakan tantangan bagi teori ekonomi mikro.
Yang kedua adalah pengangguran friksional yang diakibatkan oleh perputaran (turnover) normal tenaga kerja. Orang-orang muda (fresh graduetion) yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Tanpa diikuti dengan skill yang mumpuni atau pengalaman kerja yang tidak memadai, sehingga kalah dalam kompetisi kerja. Akibatnya para sarjana muda tersebut merupakan sumber penting pengangguran friksional. Ataupun dengan para sarjana yang keluar dari pekerjaannya merupakan sumber yang lainnya.
Untuk menanggulangi pengangguran friksional ini dibutuhkan training-training keahlian kerja dan menumbuhkan jiwa kewirausahaannya. Sebab setiap orang dilahirkan dengan bakat alamiah. Bilamana bakat alamiah ini terus diasah dan dikembangkan, tidak mustahil akan mendatangkan income juga.
Sedangkan jenis pengangguran yang ketiga adalah pengangguran struktural, yang didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan ketidak sesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri, atau lokasi geografis-dan struktur permintaan akan tenaga kerja.
Pengangguran jenis ketiga ini lebih berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi kecepatan penyesuaian pasar tenaga kerja terhadap perubahan. Seperti di Inggris dan Kanada telah menerapkan kebijakan yang menghambat perpindahan antara wilayah, industri, dan jenis pekerjaan. Sehingga kebijakan tersebut cenderung meningkatkan pengangguran struktural.
Sedangkan di Indonesia ketika diterapkannya UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan telah menganut sistem perjanjian kerja kontrak. Yang sebenarnya merugikan karyawan. Dan berpeluang meningkatnya angka pengangguran. Dimana para sarjana yang sudah mendapat pekerjaan pun, nasib mereka masih terancam juga dengan PHK mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang masih saja belum bangkit dari keterpurukan. Krisis global yang menginduk kepada Kapitalisme berimbas juga pada semakin tingginya angka pengangguran. Bila sudah begini, kemana lagi akan mencari solusi atas tingginya pengangguran sarjana ini? Semoga saja permasalahan mengenai pengangguran ini dapat segera di atasi. Sehingga dapat mengurangi angka pengangguran bertitel di Indonesia. (Referensi analisadaily)
Search ; Analisa Dampak Pendidikan terhadap Pengangguran, Pengaruh Dunia Pendidikan terhadap penyedia Lowongan Kerja,Makalah Analisa Kebijakan Pemerintah terhadap ketenagakerjaan di Indonesia, Makalah Analisa kualitas duni pendidikan di Indonesia, sistem pendidikan dan dampak kelulusan, manajemen Mutu Pendidikan terhadap Ekonomi Masyarakat, makalah Analisa Pengaruh Pendidikan Tinggi terhadap Angka Pengangguran
Pengangguran intelektual tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlalu melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Jadi apakah dengan pendidikan yang tinggi akan semakin mudah mencari kerja? Dan mampukah Pemerintah dengan filosopis anggaran 20 persen dari APBN maupun APBD yang dialokasikan untuk pendidikan nantinya dibarengi dengan peningkatan kesempatan kerja? atau hanya hisapan jempol belaka?
Bagaimanapun pendidikan adalah sarana untuk mentrasformasi kehidupan kearah yang lebih baik. Pendidikan pun dijadikan standar stratifikasi sosial seseorang. Orang yang berpendidikan akan mendapatkan penghormatan (prestice of life) dimata publik walaupun dari keturunannya tidak dikarunia oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah.
Akibatnya, orangpun berbondong-bondong untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Mengingat dunia ini terus melaju pada era globalisasi, era persaingan global dan Indonesia merupakan bagian yang ikut andil didalamnya.
Dikehendaki ataupun tidak, setiap negara akan mengikuti perubahan dunia tersebut. Sehingga untuk mempersiapkan diri dari setiap persaingan global tersebut, manusiapun meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikannya baik mereguk pendidikan didalam negeri maupun dinegeri orang yang sudah nyata-nyata kualitasnya (hight quality). Demikian merupakan syarat utamanya.
Peningkatan Pengangguran Sarjana Drastis
Namun alangkah mirisnya hati ini, pengangguran sarjana atau lulusan universitas ternyata tertinggi di Tanah Air dibandingkan dengan lulusan lain. Badan Pusat Statistik merilis, per Februari 2010, angka pengangguran terbuka mencapai 8,59 juta orang. Sebanyak 1,22 juta orang atau 14,24 persen di antaranya adalah sarjana.
Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan, jumlah pengangguran sarjana meningkat dibandingkan dengan posisi tahun-tahun sebelumnya. Data BPS memperlihatkan, pada Februari dan Agustus 2009, pengangguran sarjana masing-masing hanya 12,94 persen dan 13,08 persen. Dalam rilis BPS per Februari ini mencatat jumlah pengangguran terbuka berdasarkan riwayat pendidikan tertinggi ditempati oleh pendidikan diploma I/II/III yang mencapai 15,71 persen dari 8,59 juta pengangguran. Sementara untuk pengangguran lain dengan angka pengangguran total 8,59 juta pengangguran masing-masing adalah lulusan universitas 14,24 persen, SMK 13,81 persen, SMA 11,9 persen, SMP 7,55 persen, dan SD ke bawah 3,71 persen.
Dari data di atas, sudah sangat jelas Indonesia mempunyai permasalahan yang tidak ringan dalam mengatasi pengangguran, utamanya yang bergelar sarjana. Sudah kuliah bayar mahal, ujung-ujungnya menganggur juga. Bila tidak segera diatasi, angka ini bukannya semakin turun tapi akan melonjak naik. Apalagi bila mengingat tiap tahun ada dua gelombang wisuda di tiap Perguruan Tinggi (PT), maka tinggal mengalikan saja jumlah tersebut dengan jumlah PT di Indonesia. Disini terlihat jelas bahwa jumlah lulusan sarjana dari tahun ketahun semakin bertambah, sehingga semakin meningkat pula angkatan kerja yang tidak persis diimbangi dengan perubahan pada kesempatan kerja.
Lalu yang menjadi pertanyaan kita adalah kenapa hal demikian ini bisa terjadi? Bukankah semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin luas pula kesempatan kerja yang diperolehnya? Atau dimanakah letak kesalahan tersebut? Apakah sistem pendidikan yang selama ini keliru? Yang hanya berorientasi melahirkan jumlah calon karyawan yang mencari kerja (what to do) tetapi bukan bagaimana menciptakan calon-calon pengusaha yang mandiri (what to be)?
Menurut Richard G. Lipsey dan kawan-kawan. (dalam buku "Economics 10th ed.", 1997: 39) menjelaskan, bahwa pengangguran adalah barang buruk ("bad") sosial seperti halnya keluaran merupakan barang baik ("good") sosial. Orang yang menganggur adalah orang yang mau dan mampu bekerja tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan.
Masih menurut Lipsey, Pengangguran pun merupakan sumber daya berharga yang potensi keluarannya tersia-sia. Pasangan fisik pengangguran adalah senjang resesi-potensi PDB yang tidak jadi dihasilkan. Keadaan demikian akan berpengaruh juga pada Pendapatan Nasional.
Bila pendapatan nasional berubah, maka volume kesempatan kerja ( employment) dan volume pengangguran (Unemployment) juga berubah. Angka pengangguran memang berfluktuasi dari tahun ke tahun, karena perubahan pada angkatan kerja tidak persis diimbangi oleh perubahan pada kesempatan kerja.
Alasan Lulusan Sarjana Menganggur
Ada beragam alasan kenapa para lulusan sarjana menganggur. Alasan pertama adalah apa yang dinamakan dengan pengangguran siklis yaitu orang menganggur terpaksa (involuntarily unemployed). Golongan lulusan sarjana ini ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku, tetapi sayangnya pekerjaan tidak tersedia. Bisa dikatakan juga sarjana ini termasuk yang pilih-pilih kerja. Boleh saja ia memfilterisasi pekerjaan sesuai skill dan kapabilitas keilmuannya. Tetapi kalau terlalu lama menunggu, maka akan terjadi dekonstruksi terhadap kesarjanaannya di area publik. Pengangguran siklis merupakan tantangan bagi teori ekonomi mikro.
Yang kedua adalah pengangguran friksional yang diakibatkan oleh perputaran (turnover) normal tenaga kerja. Orang-orang muda (fresh graduetion) yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Tanpa diikuti dengan skill yang mumpuni atau pengalaman kerja yang tidak memadai, sehingga kalah dalam kompetisi kerja. Akibatnya para sarjana muda tersebut merupakan sumber penting pengangguran friksional. Ataupun dengan para sarjana yang keluar dari pekerjaannya merupakan sumber yang lainnya.
Untuk menanggulangi pengangguran friksional ini dibutuhkan training-training keahlian kerja dan menumbuhkan jiwa kewirausahaannya. Sebab setiap orang dilahirkan dengan bakat alamiah. Bilamana bakat alamiah ini terus diasah dan dikembangkan, tidak mustahil akan mendatangkan income juga.
Sedangkan jenis pengangguran yang ketiga adalah pengangguran struktural, yang didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan ketidak sesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri, atau lokasi geografis-dan struktur permintaan akan tenaga kerja.
Pengangguran jenis ketiga ini lebih berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi kecepatan penyesuaian pasar tenaga kerja terhadap perubahan. Seperti di Inggris dan Kanada telah menerapkan kebijakan yang menghambat perpindahan antara wilayah, industri, dan jenis pekerjaan. Sehingga kebijakan tersebut cenderung meningkatkan pengangguran struktural.
Sedangkan di Indonesia ketika diterapkannya UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan telah menganut sistem perjanjian kerja kontrak. Yang sebenarnya merugikan karyawan. Dan berpeluang meningkatnya angka pengangguran. Dimana para sarjana yang sudah mendapat pekerjaan pun, nasib mereka masih terancam juga dengan PHK mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang masih saja belum bangkit dari keterpurukan. Krisis global yang menginduk kepada Kapitalisme berimbas juga pada semakin tingginya angka pengangguran. Bila sudah begini, kemana lagi akan mencari solusi atas tingginya pengangguran sarjana ini? Semoga saja permasalahan mengenai pengangguran ini dapat segera di atasi. Sehingga dapat mengurangi angka pengangguran bertitel di Indonesia. (Referensi analisadaily)
Search ; Analisa Dampak Pendidikan terhadap Pengangguran, Pengaruh Dunia Pendidikan terhadap penyedia Lowongan Kerja,Makalah Analisa Kebijakan Pemerintah terhadap ketenagakerjaan di Indonesia, Makalah Analisa kualitas duni pendidikan di Indonesia, sistem pendidikan dan dampak kelulusan, manajemen Mutu Pendidikan terhadap Ekonomi Masyarakat, makalah Analisa Pengaruh Pendidikan Tinggi terhadap Angka Pengangguran
0 komentar: