Pil Pahit Pilkada Langsung Menambah Penderitaan Rakyat

Pil Pahit Pilkada Langsung Menambah Penderitaan Rakyat ; Bangsa Indonesia Sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak politik warga negaranya, penyelenggaraan pemilu termasuk pilkada langsung sesungguhnya hanya berfungsi sebagai alat legitimasi bukan destinasi (tujuan). Setidaknya melalui pilkada langsung, hendak dibuktikan bahwa suara rakyat itu adalah suara Tuhan (vox populi vox dei) yang kemudian dikonstruk sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, meski pada kenyataannya posisi rakyat tetap saja hanya sebagai vote getter (pengumpul suara).

Sementara yang memperoleh manfaat sebagai ''pengambil untung'' dari terselenggaranya pilkada langsung adalah mereka (perorangan, pejabat, lembaga) yang langsung ataupun tidak langsung mendapat kesempatan untuk turut mengambil pekerjaan menyukseskan pilkada langsung, yang pada kenyataannya nyaris tak bisa lepas dari aroma ''proyek''.

Di Indonesia, yang namanya proyek, sangat identik dengan peluang meraup keuntungan sekaligus bertendensi korupsi. Baca Hasil Pilkada Dengan Biaya Kampanye Tinggi Rentan Korupsi Maka tak heran jika kemudian tindak korupsi yang sebenarnya merupakan perbuatan kriminal, seakan sudah begitu membudaya, meski bertentangan dengan budaya luhur bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi sifat-sfat kejujuran. Akan tetapi, demi sebuah kepentingan subjektif beberapa pihak, ajang pilkada yang salah satu asasnya adalah ''jujur'' menjadi hancur lantaran acapkali diwarnai dengan tindak kecurangan. Baik di saat persiapan, penyelenggaraan, pemungutan dan yang paling genting lagi saat penghitungan dan pengumuman perolehan suara.

Lebih dari itu, bahkan hal ini dianggap paling rawan adalah ketika aliran dana pilkada yang pada setiap penyelenggaraannya bisa menghabiskan dana miliaran rupiah itu harus melewati lika-liku lembaga struktural berdalih prosedural yang tidak jarang berujung pada munculnya koruptor-koruptor baru dengan semangat aji mumpung. Tak heran, sebagaimana dilansir Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD beberapa waktu lalu, bahwa hampir semua pelaksanaan pilkada di Indonesia menunjukkan adanya kecurangan, boleh jadi termasuk menyurangi dana pilkada melalui tindak korupsinya.

Perihal korupsi ini oleh tokoh nasionalis sekaligus moralis India Mahatma Gandhi dikatakannya sebagai kehampaan moral dalam berpolitik. Bagi Gandhi, ''politik yang hampa dari ajaran moral (agama) merupakan kesesatan mutlak yang senantiasa harus dihindari. Oleh sebab itu dalam politik pun kita harus membangun kerajaan surgawi''. Sebuah ''kerajaan'' di mana masyarakat, dan atau warga pemilih, punya hak untuk menyaksikan pilkada yang bersih, jujur dan adil, sebagai modal awal bagi kelahiran para pemimpin baru (legislatif dan eksekutif) yang piawai memperjuangkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.

Faktanya di Indonesia yang katanya berpancasila ini, sebagian masyarakatnya yang kebetulan mendapat amanat menyelenggarakan pilkada, dengan begitu mudah mencampakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa tersebut. Meski begitu, masyarakat pasti tetap berharap jangan sampai ajang pilkada yang dibiayai dengan uang rakyat itu, hasilnya hanya berupa ''pil pahit'', bukan untuk penyembuhan derita rakyat yang tak berkesudahan, tetapi justru kian memperpanjang masa penderitaan rakyat. Baca Pemenang Pilkada Belum Tentu Pemimpin yang Berkualitas

Patut disadari, sesungguhnya kini masyarakat sudah jenuh dengan geliat pilkada yang sarat kecurangan (korupsi). Sebab, pada kenyataannya hasil pilkada seringkali kontraproduktif dengan harapan masyarakat yang sebenarnya tidak peduli tentang ''siapa'' terpilih tetapi lebih kepada tuntutan akan ''bagaimana'' pemimpin baru setelah terpilih, apakah sarat prestasi, hanya mengejar prestise, ataukah tetap ''membudidayakan'' tabiat korupsi.

Search : Analisa Dampak Pilkada Langsung, Makalah Pil Pahit Pilkada Langsung Menambah Penderitaan Rakyat, Arikel Pilkada, Artikel Politik

0 komentar: