Repleksi 68 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia
Merdeka ..
! Repleksi 68 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia : 68 tahun sudah kita menikmati kemerdekaan, potret bangsa ini
jauh dari harapan para pahlawan yang telah menumpahkan darahnya demi sebuah
Warisan Kemerdekaan untuk anak cucunya yang dicintainya.
Mereka yang mengaku tahu banyak tentang agama dan dianggap
dimulyakan dalam sebuah tatanan sosial masyarakat justru menjadi pelaku
korupsi. Melihat kondisi yang begitu
teramat sangat memprihatinkan ini, menjadikan kita bertanya, “Mungkinkah
membangun negeri bernama NKRI tanpa Korupsi?”.
Kita pantas malu kepada Bapak Bangsa kita. Mereka
sungguh-sungguh sudah menjalankan prinsip bekerja tanpa pamrih kepada negeri
ini. Mereka tidak pernah mempertanyakan apa yang bisa diberikan negara kepada
mereka, tetapi dengan sepenuh hati mereka memberikan hidup mereka untuk negara
ini.
Sekarang sikap seperti itu langka kita lihat di antara warga bangsa. Yang kita pikirkan hanyalah "aku...,aku..., dan aku..." Sepanjang bisa memberikan keuntungan bagi kita, maka kita begitu bersemangat. Namun ketika diminta untuk berkorban, semua berusaha untuk menghindar.
Dengan sikap egois yang begitu kuat tidak usah heran apabila yang muncul adalah sikap oportunistik. Kita cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak peduli kepada kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.
Maraknya praktik korupsi merupakan cerminan dari sikap egois tersebut. Kita tidak peduli bahwa apa yang kita lakukan merugikan kepentingan orang banyak. Sepanjang bisa menguntungkan diri sendiri, hak orang lain pun tega untuk diambil.
Sikap-sikap seperti itu bisa merusak kelangsungan bangsa dan negara ini. Hampir semua pilar demokrasi sedang dirasuki oleh sikap destruktif dari pelakunya. Mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif semuanya terjangkit virus korupsi yang kronis.
Hal lain yang pantas menjadi perhatian kita bersama adalah memudarnya rasa persatuan. Kita seakan lupa bahwa jauh sebelum Indonesia Merdeka ada kesepakatan di antara warga bangsa ini untuk meninggalkan ikatan primodialisme. Kita sepakat untuk menanggalkan sikap-sikap eksklusif untuk digantikan dengan sikap yang inklusif.
Ketika kita memasuki sistem demokrasi yang seharusnya semakin mempersatukan kita, justru sebaliknya ikatan itu semakin kendor. Kita justru berjalan mundur jauh ke belakang dan malah memperkuat ikatan-ikatan yang lebih sempit.
Dengan kaca mata yang sempit, tidak usah heran apabila mudah terjadi pergesekan di tengah masyarakat. Sangatlah mudah untuk mencari perbedaan di antara warga bangsa ini, karena kita memang merupakan bangsa yang plural. Untuk itulah Bung Karno menggunakan slogan "Bhinneka Tunggal Ika", karena kita memang berbeda-beda, namun kita sepakat untuk menjadi satu "Bangsa Indonesia".
Sekarang sikap seperti itu langka kita lihat di antara warga bangsa. Yang kita pikirkan hanyalah "aku...,aku..., dan aku..." Sepanjang bisa memberikan keuntungan bagi kita, maka kita begitu bersemangat. Namun ketika diminta untuk berkorban, semua berusaha untuk menghindar.
Dengan sikap egois yang begitu kuat tidak usah heran apabila yang muncul adalah sikap oportunistik. Kita cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak peduli kepada kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.
Maraknya praktik korupsi merupakan cerminan dari sikap egois tersebut. Kita tidak peduli bahwa apa yang kita lakukan merugikan kepentingan orang banyak. Sepanjang bisa menguntungkan diri sendiri, hak orang lain pun tega untuk diambil.
Sikap-sikap seperti itu bisa merusak kelangsungan bangsa dan negara ini. Hampir semua pilar demokrasi sedang dirasuki oleh sikap destruktif dari pelakunya. Mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif semuanya terjangkit virus korupsi yang kronis.
Hal lain yang pantas menjadi perhatian kita bersama adalah memudarnya rasa persatuan. Kita seakan lupa bahwa jauh sebelum Indonesia Merdeka ada kesepakatan di antara warga bangsa ini untuk meninggalkan ikatan primodialisme. Kita sepakat untuk menanggalkan sikap-sikap eksklusif untuk digantikan dengan sikap yang inklusif.
Ketika kita memasuki sistem demokrasi yang seharusnya semakin mempersatukan kita, justru sebaliknya ikatan itu semakin kendor. Kita justru berjalan mundur jauh ke belakang dan malah memperkuat ikatan-ikatan yang lebih sempit.
Dengan kaca mata yang sempit, tidak usah heran apabila mudah terjadi pergesekan di tengah masyarakat. Sangatlah mudah untuk mencari perbedaan di antara warga bangsa ini, karena kita memang merupakan bangsa yang plural. Untuk itulah Bung Karno menggunakan slogan "Bhinneka Tunggal Ika", karena kita memang berbeda-beda, namun kita sepakat untuk menjadi satu "Bangsa Indonesia".
Jika negeri ini memang serius dan ingin membangun negeri
tanpa korupsi, tentunya semua pihak harus terlibat untuk membangun negeri NKRI
tanpa korupsi.
Mari Kita Muali dari diri sendiri yang tidak melakukan
korupsi hingga pejabat dan politisi untuk terus mempersempit gerak para pelaku
korupsi. Penegakan hukum untuk korupsi harus dibuat seberat-beratnya sehingga
pelaku dan calon pelaku korupsi menjadi takut untuk korupsi.
Di tahun Politik ini
mari kita mengajak saudara dan sahabat kita untuk tidak terjebak dalam
politik pragmatis ataupun
Money Politik, Mari kita
Menghimbau Saudara dan Sahabat untuk tidak Meminta sumbangan maupun cinderamata
kepada Calon Pemimpin baik, calon Legeslatif, Calon Bupati, Calon Gubernur
serta Calon Presiden.
Selama ini
kita sudah merasakan betapa Ganasnya dampak Politik Uang untuk itu Mari Kita
Memberikan Pendidikan Politik yang cerdas kepada saudara dan sahabat kita untuk
TIDAK MEMILIH calon Pemimpin yang
melakukan Praktek Money Politik , Mari kita Mengisi kemerdekaan tanpa
budaya Korupsi.
Untuk
Mengingat jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur dimedan Perang, mari kita
meluangkan waktu untuk menonton video dari team Creative Pakar Lampung, <<<<< Jabat Erat Sukses untuk
Kita Semua >>>>>>
Merdeka..! Dirgahayu
Republik Indonesia ke 68.
Contoh
pidato HUTRI ke 68, Hut ri 2013, iklan caleg demokrat, caleg lampung, pidato
kemerdekaan RI, pidato hutri ke 68, contoh pidato hutri 2013
mantapp
BalasHapus